Selamat Datang di Fitra Blog Sharing Informasi Seputar Kehidupan dan Sains Semoga bermanfaat, terima kasih

Wednesday 20 November 2013

Pemikiran Filsuf Islam Ibnu Rusyd

Salam Blogger !

Filsafat ilmu adalah cabang disiplin ilmu yang semakin banyak dipelajari dibangku kuliah. Barangkali tujuannya adalah untuk mengenali dan memahami seutuhnya esiensi ilmu itu sendiri agar dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang berlandaskan pada teori dan konsep-konsep baru. hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi zaman dahulu, dimana suatu konsep maupun teori pemikiran seseorang dapat dipatahkan oleh teori orang lain atau teori setelahnya. Filsafat Ilmu memungkinkan untuk melakukan penggalian holistik, bahkan sampai pada tahapan yang paling detail sekalipun. Kritisnya hingga pencarian-pencarian tentang Tuhan sekalipun.


Itulah filsafat seringkali menarik banyak pihak untuk selalu dipelajari dan diyakini dapat mengubah paradigma pemikiran seseorang. Sebagai contoh, pendapat yang baru-baru ini terlontar dari pemikiran seorang Stephen Hawking seorang ilmuwan yang kini menjabat sebagai Ketua Royal Society, sebuah jabatan yang pernah dipegang oleh ilmuwan terkenal, Isaac Newton pada abad ke-17, dimana dia berkata tentang Surga yang dianggapnya cuma dongeng. Duniapun gempar, tentu saja ini sangat berbahaya apalagi telah dibumbui oleh media. Untuk lebih luasnya pemahaman para blogger, silahkan searching dengan mbah google terdapat beragam tanggapan dan komentar atas pemikiran ini. 

Para blogger, terkait hal ini Saya teringat dengan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, dan mencoba menggali pemikiran salah satu filsuf. Saya tertarik dengan sosok filsuf yang melegenda pada zamannya yakni Ibnu Rusyd. Dikarenakan, pemikiran beliau saya pandang sebagai pemikiran intelektual dan paling bijak. Walaupun banyak sekali filsuf Islam lain yang berkualitas, akan tetapi dari Pemikiran Ibnu Rusyd ini Saya memeroleh pemahaman yang paling berharga terlebih untuk mematahkan pemikiran seorang Stephen Hawking. Berikut akan saya hantarkan sebuah artikel hasil bahasan pemikiran saya tentang siapa Ibnu Rusyd dan perannya dalam perkembangan Ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan Filsafat Ilmu. Artikel ini saya beri judul "Pemikiran Filsuf Islam Ibnu Rusyd," semoga bermanfaat..

A.   Latar Belakang
Keberadaan dan perkembangan ilmu-ilmu Islam dimulai sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pusaran ilmu itu ialah Qur’an dan sunnah atau hadis yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Situasi ini didukung oleh perkembangan bahasa Arab yang telah digunakan jauh sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sehingga posisi bahasa Arab mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu Islam selanjutnya. Kondisi seperti ini disebabkan oleh sumber ilmu Islam yang menggunakan bahasa Arab sebagai medium komunikasi ke wilayah publik.

Adanya ekspansi umat Islam ke berbagai wilayah turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain, seperti Yunani, Persia, India, dan lain sebagainya. Lahirnya bidang keilmuan seperti filsafat, ilmu kalam (teologi Islam), dan tasawuf tidak bisa dilepaskan dari interaksi-interaksi tersebut.

B.Tokoh Filsafat Ibnu Rusyd

1. Biografi Ibnu Rusyd (1126-1198)

Ibnud Rusyd lahir di Cordova Andalusia, pada tahun 1126 M (520 H), lidah barat menyebutnya Averroes yang nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd atau sekitar 15 tahun setelah meninggalnya Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Pendidikan keagamaan yang diperoleh Ibn Rusyd diarahkan pada dasar-dasar fikih madzhab Maliki sebagaimana para leluhurnya. Sedangkan dalam bidang teologi, madzhab Asy’ariyah adalah paling dominan, termasuk ajaran yang dibawa melalui pengaruh Imam Al-Ghazali. Dalam Ilmu Kedokteran ia belajar kepada Abu Marwan bin Juraiwil al-Balansi dan Abu Ja’far bin Harun al-Tarajjali, seorang dokter resmi bagi Abu Ya’qub Yusuf yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Seville.

2. Karya dan Pemikiran Ibnu Rusyd

Karya besar yang di tulis oleh Ibnu Rusyd adalah Kitab Kuliyah fith-Thibb (Encyclopaedia of Medicine) yang terdiri dari 16 jilid, yang pernah di terjemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1255 oleh seorang Yahudi bernama Bonacosa, kemudian buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan nama “General Rules of Medicine” sebuah buku wajib di universitas-universitas di Eropa. Karya lainnya Mabadil Falsafah (pengantar ilmu falsafah), Taslul, Kasyful Adillah, Tahafatul Tahafut, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Tafsir Urjuza (menguraikan tentang pengobatan dan ilmu kalam), sedangkan dalam bidang musik Ibnu Rusyd telah menulis buku yang berjudul “De Anima Aristotles” (Commentary on the Aristotles De Animo). Ibnu Rusyd telah berhasil menterjemahan buku-buku karya Aristoteles (384-322 SM) sehingga beliau dijuluki sebagai asy-Syarih (comentator) berkat Ibnu Rusyd-lah karya-karya Aristoteles dunia dapat menikmatinya. Selain itu beliaupun mengomentari buku-buku Plato (429-347 SM), Nicolaus, Al-Farabi (874-950), dan Ibnu Sina (980-1037).

Di antara masalah filsafat yang menarik perhatiannya, adalah masalah ketuhanan. Sebagai murid tidak langsung dari Aristoteles, tampaknya ia juga mengikuti gurunya yang menempatkan persoalan ketuhanan dalam salah satu aspek pembahasan filsafatnya. Dan sebagai muslim, ia tidak melihat adanya kontradiksi antara filsafat dan agama. Corak pemikirannya, tampak berusaha menunjukkan harmonisasi antara filsafat dan agama. Meski, ia sebagai pemikir rasional, namun dalam hal-hal yang telah disebutkan secara langsung oleh teks wahyu – terlebih dalam masalah teologi – maka ia tampak bersikap “konservatif”, dan terkesan lebih dekat dengan pemikiran kaum Salaf.

Masalah ketuhanan, merupakan salah satu persoalan filosofis yang sudah sejak lama menjadi perbincangan yang intens antar para filsuf hingga saat ini. Dalam pemaparannya, Ibn Rusyd memberikan distingsi yang tegas antara kritiknya terhadap Ghazali dan para filsuf peripatetik, sebagaimana dapat dibaca dalam Al-Kasyf ‘an ManÉhij al-Adillah fÊ ‘AqÉ’id al-Millah atau sebagaimana ditegaskan pada FaÎl al-MaqÉl fÊmÉ Baina al-SyarÊ’ah wa al-×ikmah min al-IttiÎÉl. Meskipun teks-teks agama, baik ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi, memberi isyarat masalah ketuhanan, namun ternyata masih terdapat peluang bagi para filsuf dan teolog untuk melakukan interpretasi dalam memahami teks tersebut.

3. Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibnu Rusyd

Dalam menetapkan bukti-bukti tentang adanya Tuhan dan menjelaskan pola interaksi-Nya dengan alam, Ibnu Rusyd menempuh pendekatan yang berbeda dari para teolog maupun filosof pendahulunya seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Ibnu Rusyd mencoba menjelaskannya dengan suatu nalar yang bukan saja bisa dijangkau oleh masyarakat awam, tetapi juga sesuai dengan kaidah-kaidah kefilsafatan. Pendekatan ini oleh Ibnu Rusyd disebut sebagai jalan syari’at (agama), yakni suatu jalan yang ditunjukkan oleh para Rasul melalui kitab-kitab suci mereka. Lebih tepatnya, Ibnu Rusyd mengelompokkan jalan tersebut menjadi tiga dalil, yaitu dalil ikhtira’, dalil ‘inayah al-Ilahiy dan dalil harakah, suatu dalil yang dikembangkannya dari madzhab Aristoteles.

a. Dalil ‘Inayah al-Ilahiy

Dalil ‘inayah didasarkan pada dua prinsip: Pertama, bahwa semua yang ada di alam semesta ini sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedua, kesesuaian ini merupakan suatu kemestian dari segi Fa’il yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Dalil ini merupakan pengetahuan tentang Allah Swt. Sebab, Pencipta tidak disembah dengan suatu ibadah yang lebih mulia dari pada ma’rifah tentang segala ciptaan-Nya yang membawa kepada pengetahuan tentang Dzat-Nya yang mahasuci secara hakiki.

Dengan demikian penelitian tersebut merupakan amal yang paling mulia di sisi-Nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd: “Adapun segala yang ada ini sesuai bagi eksistensi manusia. Kebenaran tentang keyakinan ini dapat diperoleh dari adanya gambaran kesesuaian antara malam dan siang, matahari dan rembulan, seperti halnya kesesuaian musim yang empat (panas, dingin, semi dan gugur) bagi manusia. Sedangkan kesesuaian tempat bagi manusia, misalnya bumi ini sendiri. Demikian juga tampak adanya kesesuaian bagi manusia pada berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, barang-barang tambang dan beberapa aspek yang lain seperti hujan, sungai, lautan dan tanah, air, api dan udara. Selain itu, juga tampak adanya ‘inayah tersebut dalam anggota tubuh manusia dan binatang, yakni bentuk ukuran anggota-anggota tubuh tersebut sesuai bagi kehidupan dan eksistensi manusia.”

Dengan demikian, dalil ‘inayah Ibnu Rusyd ini memang sesuai dengan kedua prinsip yang melatarinya, yakni semua yang ada di alam semesta diciptakan sesuai bagi keperluan manusia; dan keserasian tersebut merupakan suatu kemestian bila ditinjau dari segi fa’il yang menghendakinya, sebab tidak mungkin adanya keserasian itu terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya, Ibnu Rusyd berani meyakinkan bahwa dalil yang ditawarkannya ini merupakan dalil yang kuat untuk membuktikan adanya pencipta alam.

b. Dalil Ikhtira'

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dalil ikhtira’ ini didasarkan pada suatu keyakinan bahwa segala sesuatu yang dapat dipersepsi pancaindera maupun akal adalah diciptakan. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai dalil penciptaan atau dalil ikhtira’. Selain itu, tujuan syar’i dalam pengetahuan tentang alam ini tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa alam memang diciptakan dan karenanya alam ini mesti memiliki pencipta, yakni Allah Swt. Lebih lanjut, adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa meskipun Ibnu Rusyd menyatakan bahwa dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ merupakan dalil syari’at, namun tidak berarti bahwa Ibnu Rusyd menegakkan kedua dalilnya itu berdasarkan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh kaum khitabiy (teolog), dikarenakan kaum teolog tersebut juga mendasarkan dalil-dalilnya di atas nash-nash syar’i. Alasannya sederhana saja, apa yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam rangka memformulasikan unsur-unsur filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an agar bisa diterima oleh ahli burhaniy (filosof). Oleh karena itu, walaupun Ibnu Rusyd menemukan dalam al-Qur’an adanya tiga pendekatan (khitabiy, jadliy dan burhaniy), yang notabene diperuntukkan bagi seluruh tingkatan manusia, namun Ibnu Rusyd tetap menghendaki lebih dari apa yang telah ditempuh oleh para ahli khitabiy maupun jadaliy, sehingga bisa sampai kepada tujuan ahli burhaniy.

c. Dalil Harakah

Dalil ini menegaskan tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan cara burhaniy. Selain dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ di atas, Ibnu Rusyd berupaya memuaskan orang-orang khawas dengan dalil lain yang diandalkannya, yaitu dalil harakah. Dalil harakah ini, menetapkan adanya kemestian hubungan antara gerakan alam dengan Penggerak Pertama (al-Muharrik al-Awwal). Sesungguhnya, para filosof ketika mengamati bentuk-bentuk segala yang ada, maka jelas bagi mereka kemestian sampainya perkara dalam bentuk-bentuk atau esensi-esensi kepada esensi lain yang secara aktual terpisah dari materi dan dia mesti merupakan perbuatan murni (fi’l mahd). Demikian juga, ketika terdapat esensi potensial yang hanya bisa menjadi aktual dikarenakan oleh adanya esensi lain yang memiliki sifat aktual, maka perkara ini juga mesti berhenti pada suatu esensi yang merupakan perbuatan murni. Esensi tersebut tidak lain adalah Penggerak Pertama dari segala yang ada ini.

Dari ketiga dalil yang digunakan oleh Ibnu Rusyd di atas, maka dapat difahami bahwa semua yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan yang diuntukan bagi keperluan manusia. Selanjutnya setiap ciptaan mengandung nilai-nilai keserasian yang merupakan suatu kemestian dan pergerakan alam semesta ini selalu terhubung dengan penggerak pertama yaitu sang pencipta dan hal ini sekaligus membuktikan bahwa eksistensi Tuhan tidak diragukan lagi.

D. Kesimpulan

Dengan peikirannya, Ibnu Rusyd mampu melakukan rekonsiliasi falsafah diantara para filsuf sebelumnya maupun yang hidup pada masanya, dengan apa yang dilakukannya yaitu memformulasikan unsur-unsur filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an agar bisa diterima oleh ahli burhaniy (filosof)dan masyarakat awam. Tentang keberadaan Tuhan, konsep yang dikembangkannya melalui dalil-dalil (Inayah al-Ilahiy, Ikhtira’ dan Harakah) sangat jelas bahwa Tuhan itu ada, dan Eksistensi adanya Tuhan tidak diragukan lagi. Bagaimana kita tahu demikian, alasanya sederhana saja, yaitu dengan mempelajari alam semesta serta isinya, bahwa semua merupakan ciptaan, adanya ciptaan pasti ada yang menciptakan, selanjutnya ciptaan itu pasti memiliki kesesuaian, dan adanya pergerakan bergerak sesuai dengan pergerakan yang semestinya.


 Daftar Pustaka

1. Khofifi, Muhammad & Chotimah, LC, 29 April 2010, Pola Pemikiran Ibnu Rusyd Tentang Pendidikan Agama Islam, http://khofif.wordpress.com/  2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/ diakses tanggal 16 April 2012;
2. Saleh, Sujiat Zubaidi, 31 Desember 2011 Filsafat ketuhanan Kritik ibn rusyd terhadap filsuf tentang filsafat ketuhanan, http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volume-v-1/filsafat-ketuhanan-kritik-ibn-rusyd-terhadap-filsuf-tentang-filsafat-ketuhanan.html diakses tanggal 16 April 2012;


3. Mustofa, M. Lutfi,  10 Oktober 2010, Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ilmu, http://mlutfimustofa.com/eksistensi-tuhan-dalam-filsafat-ibnu-rusyd/ diakases tanggal 16 April 2012.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar