Filsafat ilmu adalah cabang disiplin ilmu yang semakin banyak
dipelajari dibangku kuliah. Barangkali tujuannya adalah untuk mengenali dan
memahami seutuhnya esiensi ilmu itu sendiri agar dapat diaplikasikan ke dalam
kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang
berlandaskan pada teori dan konsep-konsep baru. hal ini tidak jauh berbeda
dengan kondisi zaman dahulu, dimana suatu konsep maupun teori pemikiran
seseorang dapat dipatahkan oleh teori orang lain atau teori setelahnya.
Filsafat Ilmu memungkinkan untuk melakukan penggalian holistik, bahkan sampai
pada tahapan yang paling detail sekalipun. Kritisnya hingga pencarian-pencarian
tentang Tuhan sekalipun.
Itulah filsafat seringkali menarik banyak pihak untuk selalu
dipelajari dan diyakini dapat mengubah paradigma pemikiran seseorang. Sebagai contoh,
pendapat yang baru-baru ini terlontar dari pemikiran seorang Stephen
Hawking seorang ilmuwan yang kini menjabat sebagai Ketua Royal Society,
sebuah jabatan yang pernah dipegang oleh ilmuwan terkenal, Isaac Newton pada
abad ke-17, dimana dia berkata tentang Surga yang dianggapnya cuma
dongeng. Duniapun gempar, tentu saja ini sangat berbahaya apalagi telah
dibumbui oleh media. Untuk lebih luasnya pemahaman para blogger, silahkan
searching dengan mbah google terdapat beragam tanggapan dan komentar atas
pemikiran ini.
Para blogger, terkait hal ini Saya teringat dengan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu,
dan mencoba menggali pemikiran salah satu filsuf. Saya tertarik dengan sosok
filsuf yang melegenda pada zamannya yakni Ibnu Rusyd. Dikarenakan, pemikiran
beliau saya pandang sebagai pemikiran intelektual dan paling bijak. Walaupun
banyak sekali filsuf Islam lain yang berkualitas, akan tetapi dari Pemikiran
Ibnu Rusyd ini Saya memeroleh pemahaman yang paling berharga terlebih untuk
mematahkan pemikiran seorang Stephen Hawking. Berikut akan saya hantarkan
sebuah artikel hasil bahasan pemikiran saya tentang siapa Ibnu Rusyd dan
perannya dalam perkembangan Ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan Filsafat
Ilmu. Artikel ini saya beri judul "Pemikiran Filsuf Islam Ibnu
Rusyd," semoga bermanfaat..
A. Latar Belakang
Keberadaan dan
perkembangan ilmu-ilmu Islam dimulai sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pusaran
ilmu itu ialah Qur’an dan sunnah atau hadis yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Situasi ini didukung oleh
perkembangan bahasa Arab yang telah digunakan jauh sebelum masa kerasulan Nabi
Muhammad SAW, sehingga posisi bahasa Arab mengambil peran penting bagi
perkembangan ilmu Islam selanjutnya. Kondisi seperti ini disebabkan oleh sumber
ilmu Islam yang menggunakan bahasa Arab sebagai medium komunikasi ke wilayah
publik.
Adanya ekspansi umat Islam
ke berbagai wilayah turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai
keilmuan Islam pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi Islam dengan
budaya-budaya lain, seperti Yunani, Persia, India, dan lain sebagainya.
Lahirnya bidang keilmuan seperti filsafat, ilmu kalam (teologi Islam), dan tasawuf tidak bisa dilepaskan dari interaksi-interaksi tersebut.
B.Tokoh Filsafat Ibnu Rusyd
1. Biografi Ibnu Rusyd (1126-1198)
Ibnud Rusyd lahir di Cordova Andalusia, pada tahun 1126 M (520 H), lidah barat menyebutnya Averroes yang nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd atau sekitar 15 tahun setelah
meninggalnya Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Pendidikan keagamaan yang
diperoleh Ibn Rusyd diarahkan pada dasar-dasar fikih madzhab Maliki sebagaimana
para leluhurnya. Sedangkan dalam bidang teologi, madzhab Asy’ariyah adalah
paling dominan, termasuk ajaran yang dibawa melalui pengaruh Imam
Al-Ghazali. Dalam Ilmu Kedokteran ia belajar kepada Abu Marwan bin
Juraiwil al-Balansi dan Abu Ja’far bin Harun al-Tarajjali, seorang dokter resmi
bagi Abu Ya’qub Yusuf yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Seville.
2. Karya dan Pemikiran Ibnu Rusyd
Karya besar yang di tulis oleh Ibnu Rusyd adalah Kitab Kuliyah fith-Thibb
(Encyclopaedia of Medicine) yang terdiri dari 16 jilid, yang pernah di
terjemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1255 oleh seorang Yahudi bernama
Bonacosa, kemudian buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan nama
“General Rules of Medicine” sebuah buku wajib di universitas-universitas di
Eropa. Karya lainnya Mabadil Falsafah (pengantar ilmu falsafah), Taslul,
Kasyful Adillah, Tahafatul Tahafut, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid, Tafsir Urjuza (menguraikan tentang pengobatan dan ilmu kalam),
sedangkan dalam bidang musik Ibnu Rusyd telah menulis buku yang berjudul “De
Anima Aristotles” (Commentary on the Aristotles De Animo). Ibnu Rusyd telah
berhasil menterjemahan buku-buku karya Aristoteles (384-322 SM) sehingga beliau
dijuluki sebagai asy-Syarih (comentator) berkat Ibnu Rusyd-lah karya-karya
Aristoteles dunia dapat menikmatinya. Selain itu beliaupun mengomentari
buku-buku Plato (429-347 SM), Nicolaus, Al-Farabi (874-950), dan Ibnu Sina
(980-1037).
Di antara masalah filsafat yang menarik perhatiannya, adalah masalah ketuhanan. Sebagai
murid tidak langsung dari Aristoteles, tampaknya ia juga mengikuti gurunya yang
menempatkan persoalan ketuhanan dalam salah satu aspek pembahasan filsafatnya.
Dan sebagai muslim, ia tidak melihat adanya kontradiksi antara filsafat dan
agama. Corak pemikirannya, tampak berusaha menunjukkan harmonisasi antara
filsafat dan agama. Meski, ia sebagai pemikir rasional, namun dalam hal-hal yang
telah disebutkan secara langsung oleh teks wahyu – terlebih dalam masalah
teologi – maka ia tampak bersikap “konservatif”, dan terkesan lebih dekat
dengan pemikiran kaum Salaf.
Masalah ketuhanan, merupakan salah satu persoalan filosofis yang sudah sejak lama
menjadi perbincangan yang intens antar para filsuf hingga saat ini. Dalam
pemaparannya, Ibn Rusyd memberikan distingsi yang tegas antara kritiknya
terhadap Ghazali dan para filsuf peripatetik, sebagaimana dapat dibaca dalam Al-Kasyf
‘an ManÉhij al-Adillah fÊ ‘AqÉ’id al-Millah atau sebagaimana ditegaskan
pada FaÎl al-MaqÉl fÊmÉ Baina al-SyarÊ’ah wa al-×ikmah min al-IttiÎÉl.
Meskipun teks-teks agama, baik ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi, memberi
isyarat masalah ketuhanan, namun ternyata masih terdapat peluang bagi para
filsuf dan teolog untuk melakukan interpretasi dalam memahami teks tersebut.
3. Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibnu Rusyd
Dalam menetapkan bukti-bukti tentang adanya Tuhan dan
menjelaskan pola interaksi-Nya dengan alam, Ibnu Rusyd menempuh pendekatan yang
berbeda dari para teolog maupun filosof pendahulunya seperti al-Farabi dan Ibnu
Sina. Ibnu Rusyd mencoba menjelaskannya dengan suatu nalar yang bukan saja bisa
dijangkau oleh masyarakat awam, tetapi juga sesuai dengan kaidah-kaidah
kefilsafatan. Pendekatan ini oleh Ibnu Rusyd disebut sebagai jalan syari’at
(agama), yakni suatu jalan yang ditunjukkan oleh para Rasul melalui kitab-kitab
suci mereka. Lebih tepatnya, Ibnu Rusyd mengelompokkan jalan tersebut menjadi
tiga dalil, yaitu dalil ikhtira’, dalil ‘inayah al-Ilahiy dan dalil harakah,
suatu dalil yang dikembangkannya dari madzhab Aristoteles.
a. Dalil ‘Inayah al-Ilahiy
Dalil ‘inayah didasarkan pada dua prinsip: Pertama, bahwa
semua yang ada di alam semesta ini sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedua,
kesesuaian ini merupakan suatu kemestian dari segi Fa’il yang menghendaki
tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara
kebetulan. Dalil ini merupakan pengetahuan tentang Allah Swt. Sebab,
Pencipta tidak disembah dengan suatu ibadah yang lebih mulia dari pada ma’rifah
tentang segala ciptaan-Nya yang membawa kepada pengetahuan tentang Dzat-Nya
yang mahasuci secara hakiki.
Dengan demikian penelitian tersebut merupakan amal
yang paling mulia di sisi-Nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu
Rusyd: “Adapun segala yang ada ini sesuai bagi eksistensi
manusia. Kebenaran tentang keyakinan ini dapat diperoleh dari adanya gambaran
kesesuaian antara malam dan siang, matahari dan rembulan, seperti halnya
kesesuaian musim yang empat (panas, dingin, semi dan gugur) bagi manusia.
Sedangkan kesesuaian tempat bagi manusia, misalnya bumi ini sendiri. Demikian
juga tampak adanya kesesuaian bagi manusia pada berbagai jenis binatang,
tumbuh-tumbuhan, barang-barang tambang dan beberapa aspek yang lain seperti
hujan, sungai, lautan dan tanah, air, api dan udara. Selain itu, juga tampak adanya
‘inayah tersebut dalam anggota tubuh manusia dan binatang, yakni bentuk ukuran anggota-anggota tubuh tersebut sesuai bagi kehidupan dan eksistensi
manusia.”
Dengan demikian, dalil ‘inayah Ibnu Rusyd ini memang
sesuai dengan kedua prinsip yang melatarinya, yakni semua yang ada di alam
semesta diciptakan sesuai bagi keperluan manusia; dan keserasian tersebut
merupakan suatu kemestian bila ditinjau dari segi fa’il yang menghendakinya,
sebab tidak mungkin adanya keserasian itu terjadi secara kebetulan. Oleh
karenanya, Ibnu Rusyd berani meyakinkan bahwa dalil yang ditawarkannya ini
merupakan dalil yang kuat untuk membuktikan adanya pencipta alam.
b. Dalil Ikhtira'
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam
al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dalil ikhtira’ ini didasarkan pada suatu
keyakinan bahwa segala sesuatu yang dapat dipersepsi pancaindera maupun akal
adalah diciptakan. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai dalil
penciptaan atau dalil ikhtira’. Selain itu, tujuan syar’i dalam pengetahuan
tentang alam ini tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa alam memang
diciptakan dan karenanya alam ini mesti memiliki pencipta, yakni Allah Swt. Lebih
lanjut, adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa meskipun Ibnu Rusyd menyatakan bahwa dalil ‘inayah
al-Ilahiy dan ikhtira’ merupakan dalil syari’at, namun tidak berarti bahwa Ibnu
Rusyd menegakkan kedua dalilnya itu berdasarkan batasan-batasan yang telah
ditetapkan oleh kaum khitabiy (teolog), dikarenakan kaum teolog tersebut juga
mendasarkan dalil-dalilnya di atas nash-nash syar’i. Alasannya sederhana saja,
apa yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam rangka memformulasikan
unsur-unsur filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an agar bisa diterima oleh ahli
burhaniy (filosof). Oleh karena itu, walaupun Ibnu Rusyd menemukan dalam
al-Qur’an adanya tiga pendekatan (khitabiy, jadliy dan burhaniy), yang notabene
diperuntukkan bagi seluruh tingkatan manusia, namun Ibnu Rusyd tetap
menghendaki lebih dari apa yang telah ditempuh oleh para ahli khitabiy maupun jadaliy,
sehingga bisa sampai kepada tujuan ahli burhaniy.
c. Dalil Harakah
Dalil ini menegaskan tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan cara burhaniy. Selain dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ di atas, Ibnu Rusyd berupaya memuaskan orang-orang khawas dengan dalil lain yang diandalkannya, yaitu dalil harakah. Dalil harakah ini, menetapkan adanya kemestian hubungan antara gerakan alam dengan Penggerak Pertama (al-Muharrik al-Awwal). Sesungguhnya, para filosof ketika mengamati bentuk-bentuk segala yang ada, maka jelas bagi mereka kemestian sampainya perkara dalam bentuk-bentuk atau esensi-esensi kepada esensi lain yang secara aktual terpisah dari materi dan dia mesti merupakan perbuatan murni (fi’l mahd). Demikian juga, ketika terdapat esensi potensial yang hanya bisa menjadi aktual dikarenakan oleh adanya esensi lain yang memiliki sifat aktual, maka perkara ini juga mesti berhenti pada suatu esensi yang merupakan perbuatan murni. Esensi tersebut tidak lain adalah Penggerak Pertama dari segala yang ada ini.
Dari ketiga dalil yang digunakan oleh Ibnu Rusyd di atas, maka dapat difahami bahwa semua yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan yang diuntukan bagi keperluan manusia. Selanjutnya setiap ciptaan mengandung nilai-nilai keserasian yang
merupakan suatu kemestian dan pergerakan alam semesta ini selalu terhubung dengan penggerak
pertama yaitu sang pencipta dan hal ini sekaligus membuktikan bahwa eksistensi
Tuhan tidak diragukan lagi.
D. Kesimpulan
Dengan peikirannya, Ibnu Rusyd mampu melakukan rekonsiliasi falsafah diantara para
filsuf sebelumnya maupun yang hidup pada masanya, dengan apa yang dilakukannya yaitu memformulasikan
unsur-unsur filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an agar bisa diterima oleh ahli
burhaniy (filosof)dan masyarakat awam. Tentang keberadaan Tuhan, konsep yang dikembangkannya
melalui dalil-dalil (Inayah al-Ilahiy, Ikhtira’ dan Harakah) sangat jelas bahwa Tuhan itu ada, dan Eksistensi adanya Tuhan tidak diragukan lagi. Bagaimana kita tahu demikian, alasanya sederhana saja, yaitu dengan mempelajari
alam semesta serta isinya, bahwa semua merupakan ciptaan, adanya ciptaan pasti ada yang menciptakan,
selanjutnya ciptaan itu pasti memiliki kesesuaian, dan adanya pergerakan bergerak sesuai dengan
pergerakan yang semestinya.
Daftar Pustaka
1. Khofifi, Muhammad & Chotimah, LC, 29 April 2010, Pola Pemikiran Ibnu Rusyd Tentang
Pendidikan
Agama Islam, http://khofif.wordpress.com/ 2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/ diakses tanggal 16 April 2012;
2. Saleh, Sujiat Zubaidi, 31
Desember 2011 Filsafat ketuhanan Kritik ibn rusyd terhadap
filsuf tentang filsafat ketuhanan, http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volume-v-1/filsafat-ketuhanan-kritik-ibn-rusyd-terhadap-filsuf-tentang-filsafat-ketuhanan.html diakses tanggal
16 April 2012;
3. Mustofa, M. Lutfi, 10
Oktober 2010, Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ilmu, http://mlutfimustofa.com/eksistensi-tuhan-dalam-filsafat-ibnu-rusyd/ diakases tanggal 16 April 2012.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar